Ada pepatah yang mengatakan jika ada seorang pria sukses dalam kehidupannya maka pasti ada wanita yang ada di belakangnya. Wanita tersebut bisa saja dari ibu kita yang telah melahirkan kita atau bisa juga istri kita dengan ridhonya mereka yang mau mensuport dan mendoakan kita.
Begitu juga sebaliknya dibalik pria yang gagal dalam kehidupannya bukan tidak mungkin hal itu disebabkan oleh wanita yang ada di belakangnya juga. Entah itu kita telah durhaka terhadap ibu kita ataupun istri kita yang tidak bahagia. Mungkin kisah berikut bisa dijadikan pembelajaran buat kita semua.
“Bro, kenapa ya hutang saya ga bisa lunas lunas?”
Menghadapi pertanyaan seperti ini, biasanya saya menjawabnya dengan mengajaknya menggunakan ilmu “law of projection”, “disiplin kata” atau “garpu tala”. Tapi kali ini saya ingin gunakan jurus berbeda.
Sayapun langsung tanya balik ke sahabat saya tersebut dengan berkata:
“Istri kamu bahagia atau tidak?”.
Karena ditanya balik dengan pertanyaan berbeda, sahabat saya lalu merespon dengan membenarkan pertanyaannya. :
“Begini ya bro, saya cuma tanya tentang hutang. Kenapa ya hutang saya ga lunas lunas?”
Sekali lagi saya tanya balik ke sahabat saya:
“Iya... Tapi sebelumnya saya mau tanya kamu dulu... istri kamu bahagia gak?”.
Cukup lama sahabat saya terdiam. Lalu dia jawab:
“Sepertinya istri saya kurang bahagia deh bro”.
Lalu saya mengatakan:
“ Ya sudah... itulah jawabannya... Kamu tidak akan bisa melunasi “hutang” kamu, kalau istri kamu sendiri aja tidak bahagia”.
Dia lalu bertanya:
“Lho emang ada hubungannya bro?”.
Saya lalu menjawabnya dan berkata:
“Ya pasti”.
Kemudian saya jelaskan ilmu terumbu karang kepada sahabat saya.
"Ini adalah pertanyaan sederhana, namun banyak manusia tidak tahu jawabannya.
“Di mana tuhan titip rezeki untuk manusia?”.
Sementara semua hewan tahu di mana letak rezekinya. Jerapah jika ditanya pasti menjawab di pucuk pohon. Monyet akan menjawab di pohon pisang. Ikan akan menjawab, rezekinya dititip di terumbu karang.
Uniknya, jawaban manusia kok bisa berbeda-beda. Tidak seragam seperti jawaban hewan. Ada yang menjawab di kantor, di proyek, di bendahara, di mana-mana dan jawaban lain yang menunjukkan sebenarnya kita tidak tahu di mana letak rezeki kita.
Dengan kajian panjang, saya menyimpulkan bahwa rezeki tuhan dititip di “Kemuliaan dan Kebahagiaan Orang Lain”.
Rezeki yang kita dapatkan sebenarnya bukan karena keahlian kita, bukan juga karena jam kerja yang kita curahkan. Tapi lebih karena kita pernah memuliakan dan membahagiakan orang lain. Lalu tuhan berikan reward berupa rezeki yang tercurah akibat proses itu.
Jika jerapah menjaga pucuk pohonnya, monyet menjaga pohon pisangnya, maka ikan pun menjaga terumbu karangnya agar dapatkan rezeki.
Uniknya, manusia dengan mudah menyakiti perasaan manusia lain. Kenapa? Karena tidak tahu konsep “menjaga terumbu karang” ini. Begitulah yang terjadi pada sahabat saya. Dia hanya fokus mencari nafkah di tempat kerja, tapi istri sendiri tidak dia bahagiakan".
Sahabat saya pun menghela nafas lalu berkata;
“Terus, apa yang harus saya perbuat bro?”
Saya lalu langsung meresponya dan berkata:
“Ya sederhana sebenarnya, buat saja istri mulia dan bahagia, karena di sana letak rezeki kamu.
Kita terlalu sibuk bekerja dan menjadi robot, lalu menganggap dengan aktivitas kita itulah kita mendapatkan rezeki dan mampu membayar hutang-hutang kita. Padahal kita sebenarnya juga bahagiakan orang-orang yang menjadi sebab rezeki kita.
Pimpinan, anak buah, klien, konsumen, kita jagaaa benar hatinya agar tidak tersinggung. Kenapa? Karena kalau tersinggung sedikit saja, mereka akan menghukum kita dengan berkurangnya bagian rezeki kita.
Pimpinan mungkin akan memecat kita, anak buah tidak akan semangat bekerja, klien dan konsumen akan lari, jika kita buat tersinggung.
Saat tiba di rumah... dengan mudahnya kita menyakiti hati istri kita. Kadang sebagai suami, kita menganggap istri harus membuat suami bahagia. Kita-lah raja dalam rumah tangga dan dengan semena-mena kita menuntut banyak hal pada istri kita. Kita pakai dalil2 agama untuk mengeksploitasi istri kita. Semuanya tentang kita dan ego kita sebagai suami.
Ujung dari itu semua, istri tidak bahagia. Seperti ikan, saat terumbu karangnya sudah musnah, manalah mungkin dia bisa dapatkan makanan. Saat istri -sebagai orang paling dekat dengan kita- tidak bahagia, manalah mungkin kita akan dapatkan rezeki”
Sahabat sayapun hanya dapat menunduk saja lalu menatap saya dalam-dalam.
Lalu saya berkata:
“Sebenarnya... ini adalah kontemplasi saya juga bro..”
Lalu dia berkata:
“Oh, jadi kamu pernah mengalami juga?”.
Lalu saya sambung pembicaraan saya dan berkata
“Ya... begitulah... dulu saya juga orang yang tidak peduli dengan kebahagiaan istri. Terlalu banyak aib jika saya ceritakan... Tapi, sejak saya dapatkan kesimpulan “menjaga terumbu karang” ini, saya balik semua logika saya dalam mencari rezeki.
Saya sudah tidak peduli lagi dengan usaha saya. Saya tidak peduli dengan seberapa banyak nafkah yang saya bisa berikan untuk istri saya. Karena sebenarnya itu hanya dampak dari sikap saya terhadap orang-orang yang paling berharga dalam kehidupan saya. Salah satunya, istri kita".
Lalu saya bercerita:
Suatu saat, ada seorang motivator bisnis dari Amerika. Sesi yang paling saya tunggu adalah pertanyaan tentang rahasia sukses.
“Apa rahasia sukses bapak?” Tanya seorang penanya.
Saya sudah menunggu dan menduga jawabannya adalah tentang poin2 manajemen, leadership, kedisipilan atau kerjasama tim.
Jawabannya sungguh tak terduga. Sambil memegang mesra tangan istrinya, sang motivator menjawab “Happy Wife, Happy Life”
Sungguh bukan ini rahasia yang saya nantikan. Tapi dengan fasih, motivator itu menjawab dgn susunan logika yang menggugah perasaan saya, bahwa Kebahagiaan Istri lah yang akan membuat hidup seorang suami bahagia.
Ah... malu saya dengan diri saya sendiri. Banyak orang memanggil saya orang yang cerdas, tapi kenapa nilai-nilai ini malah dijiwai oleh motivator bisnis dari negara yang dalam citra saya sudah tidak lagi mensakralkan nilai keluarga.
Setelah itu, berhari-hari saya termenung, kalimat “happy wife, happy life” terngiang2 dalam fikiran dan jiwa saya. Akhirnya dengan mantap, saya membuka hati, mau belajar dan menerapkan semboyan sang motivator untuk meniti kesuksesan saya".
Sahabat saya masih di depan saya. Masih mencoba mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari lisan saya. Dia memang sedang konsultasi, tapi hakikatnya ini adalah pembicaraan dua lelaki yang saling berkaca.
Memang tidak mudah menurunkan ego kami sebagai suami. Tapi jika itu yang harus dibayar untuk kesuksesan, kenapa tidak? Sudah terlalu jauh kami berjalan memuaskan ego kami sendiri, dan akibatnya kami tak lagi menemukan bahagia.
Sahabat sayapun mengeluh dan berkata:
“Tapi istri saya keras bro, kadang marah-marah ga jelas, apa yang saya lakukan seperti ga bener semua di mata dia. Kalau sudah begitu, saya ya... ikutsn marah-marah”.
Sayapun langsung meresponya:
“Ya biar saja lah bro, kadang istri kita memang mesti melampiaskan amarahnya. Satu hal yang akhirnya saya fahami... sejak kita menikahi istri kita, dia punya quota marah yang ga habis-habis... kita harus siap memiliki hati yang luas menghadapinya".
Lalu saya berkata:
"Untuk hal ini, saya belajar dari kisah hidup Rasulullah ﷺ".
Lalu sayapun langsung bercerita:
"Suatu saat, Rasulullah ﷺ sedang menerima tamu. Sejurus kemudian, ada ketukan pintu dan memberikan semangkuk sup.
Rasulullah ﷺ lalu bertanya:
“Dari mana sup ini?”
Lalu pertanyaaan Rasulullah ﷺ langsung dijawab oleh istri yang lainnya.
Jawaban itu didengar oleh Aisyah di dapur yang juga sedang menyiapkan makanan untuk Rasulullah ﷺ yang mulia. Tak diduga, Aisyah keluar dan menghalau mangkuk sup itu dan terjatuh mengenai Rasulullah ﷺ dan tamunya.
Jika kita menjadi Rasulullah ﷺ mungkin penyikapan kita akan marah, atau minimal memberikan pengertian kepada Aisyah ra tentang kesalahan perbuatannya.
Tapi, Dialah Rasulullah ﷺ yang mulia. Rasulullah ﷺ hanya mengambil kain membasuh sup yang tumpah di pakaiannya dan tamunya dan hanya mengatakan kepada tamunya.
Rasulullah ﷺ lalu berkata:
“Maafkan ibumu (ummul mu’minin)... dia sedang cemburu”
Penyikapan yang tepat yang lahir dari keinginan menjaga kebahagiaan istri. Ah... semoga kami mampu mencontoh Rasulullah ﷺ yang mulia".
"Kehidupan suami istri laksana lautan dalam yang tak pernah habis digali. Satu hal yang pasti, kita harus pertanggung jawabkan ijab-qobul yang sudah terlanjur terucap dan disaksikan oleh Allah.
Lalu kita terikat amat kuat dengan hukum Allah. “Itsnaani yu’ajjiluhumullahu fid dunya, al-baghyu wa huquuqul waalidayn” ada dua dosa yang dipercepat siksanya oleh Allah di dunia : berbuat sewenang2 (Al-baghyu) dan durhaka kepada kedua org tua.
Al-baghyu yang paling besar adalah kepada istri sendiri. Allah mensejajarkan, menyakiti istri sama dengan durhaka kepada orangtua".
Setelahnya kamipun berdua cuma bisa menghela nafas. Memang tidak mudah untuk menjadi seorang suami, karena kitapun masih harus terus belajar. Semoga dengan slogan baru : “Happy Wife, Happy Life”, kita bisa dapatkan kebahagiaan dan kesuksesan Kita kembali.
Wallahu a'lam bishowab.