Sunday, February 26, 2017

Intuisi Rabbani - Bagian 2

Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa Intuisi Rabbani terlibat percakapan dengan Intuisi Nafsu, suatu ketika Intuisi Nafsu lalu bertanya:


“Betapa menakjubkan berita yang telah engkau berikan kepadaku, betapa kalangan yang dinisbatkan dengan sifat yang luhur itu berlaku aturan? Bagaimana itu terjadi, sampai aku mengetahuinya?”

Intuisi Rabbani menjawab:
“Pahamilah, Ketika mereka mencari-Nya dalam kehendak-Nya, dan diri mereka terhalang, lantas mereka tetap mencari-Nya dalam pelimpahan-Nya tehadap mereka, pada harapan bencana yang ada pada sifat-sifat mereka". 

"Karena kelezatannya ada pada mereka, dimana mereka menutupinya agar melaksanakan dengan kejatiandirinya dan berkerja dengan indra mereka serta menikmati kelezatan dengan diri mereka dalam tempat-tempat kebanggaan, hasil-hasil dzikir dan pelimpahan paksa".

Intuisi Nafsu lalu bertanya lagi:
"Bagaimana engkau mengetahui hal itu, padahal tidak ada yang mengetahuinya kecuali ahlinya, tidak bisa menemukan selain mereka dan tidak ada yang kuat selain mereka pula". 

"Bagaimana engkau tahu, kenapa mereka mencari-Nya namun juga menghalangi-Nya, lantas mereka berperantara dengan sesuatu dari-Nya sebagai keharusan kepada-Nya, dan mereka pun memohon pertolongan dalam keperantaraan itu melalui hakikat-hakikat yang ada pada-Nya..?

Intuisi Rabbani menjawab:
"Karena sebenarnya Dia telah mempertemukan mereka dengan Wujud-Nya untuk mereka. Lalu Dia menetapkan ghaibnya rahasia-rahasia-Nya dalam diri mereka dan kepada mereka, yang sampai kepada-Nya". 

"Maka terhapuslah makhluk-makhluk dan terputuslah berbagai kebutuhan, sehingga hubungan menjadi melimpah, derajat menjadi luhur, melalui kesirnan indra dan kefana’an diri".

"Kemudian mereka dihadirkan oleh fana’ dalam kefana’an mereka, dan mereka dipersaksikan Wujud dalam wujud mereka. Sesuatu yang menghadirkan dan mempersaksikan mereka dari diri mereka, adalah tirai yang samar dan hijab yang lembut, dimana mereka menemukan tirai pada sekat kesirnaan dan kepayahan yang berat, untuk menutupi segala yang tidak selaras, berupa sebab-sebab langsung, dengan menghadirkan berbagai sebab yang layak, dan layak pula sifatnya bagi makhluk".

"Maka mereka pun mencari sesuatu itu di tempat-tempat pencarian mereka, namun mereka tidak mengetahuinya dari dalam diri mereka". 

"Karena mereka menempati tempat kekuatan, dan mereka meraih hakikat-hakikat kehormatan, maka pada mereka ditempatkan sesuatu yang menyibukkan mereka". 

'Maka muncullah sepenuhnya yang ada dan yang tidak ada pada sifat.  Walaupun sekat cobaan bertambah”.

Karena masih penasaran Intuisi Nafsu lalu bertanya lagi:
"Aku meminta, Uraikan ragam cobaan mereka kepadaku di tempai-tempat mereka yang menakjubkan dan kedudukan mereka yang dekat!”

Intuisi Rabbani menjawab:
“Mereka merasa sudah cukup dengan apa yang ada, lalu mereka keluar dari segala hajat kebutuhan, meninggalkan telaah, menggunakan kemenangan dengan mengerahkan kemampuan, dan dengan sergapan kebanggaan". 

"Dengan begitu mereka memandang kepada segala sesuatu melalui apa yang ada pada mereka, tanpa menaiki tahap yang ada pada-Nya, sehingga mereka menegakkan keterpisahan dan keterputusan".

"Maka ketika mereka melihat dan menemukan dengan dua matanya,  dan terlimpahi dua perkara, tiba-tiba tampak lembah AI-Haq di hadapan mereka,  yang datang dari-Nya untuk mereka, berupa sesuatu yang diperuntukkan bagi mereka, untuk berkonsentrasi kepada-Nya sepenuh kemampuannya".  

"Maka keluarlah mereka dari hal tersebut tanpa ada keraguan kepada-Nya, memprioritaskan terhadap kemandirian sukacita mereka, yang menunjukkan kepada-Nya dan meyakinkan dengan penuh kelapangan dada".

"Mereka tidak ingin kembali atas apa yang ada pada diri mereka dan tidak ingin pula mencari tempat yang menuju kepada mereka.  Bila keadaannya demikian, mereka diliputi oleh cobaan, sementara mereka tidak tahu”.

Intuisi Nafsu lalu berkata:
“Engkau telah membuat aneh akalku dan menambah ketololanku. Karena itu dekatkan pada pemahamanku.”

Intuisi Rabbani menjawab:
“Para pemilik cobaan (ahlul bala’) ketika sedang bertemu dengan Sang Pembicara Yang Benar pada diri mareka, dan hikmah-hikmah-Nya berlaku pada mereka,  maka rahasia-rahasia mereka jadi asing, arwah-arwah mereka lebur sepanjang umur,  hingga tidak menghinggapi wilayah-wilayah dan tidak pula menenterami.  Ia menjadi mesra dengan Sang Pengujinya, dan manja dengan kefana’an pemanja yang lunglai".

"Ia benar-benar digelisahkan oleh kesirnaannya, sedang kehinaannya adalah kerinduannya, dimana ia didahagakan dan dilaparkan di hadapan-Nya, digelorakan rindu kepada-Nya, yang diikuti oleh dahaga demi dahaga akan bertumbuhan". 

"Ia di paksa oleh ma’rifatnya, dan tergilas oleh kesirnaannya. Kedahagaan kepada-Nya agar terus menuju paripurna, sementara setiap tutup yang terbuka adalah ilmu baginya, yang dirasakan melalui rasa fakir, yang dibaharui dengan memandang kemungkinan jerih payah, yang dibebani oleh pengaruh bahan makanan (jiwa), rindunya sampai membelah gelisahnya, yang senantiasa mecari obatnya".

"Ia senantiasa menggantungkan jejak-jejak Sang Kekasih,  segala yang jauh di mata, amatlah dekat. Ia ditirai dengan persembunyian karena sirna tirainya yang harus dipakai di hadapan-Nya. Ia merasa lapang dada dengan kemusnahannya melalui cobaan yang ditimpakan kepadanya. Ia sudah tak peduli dengan dirinya sendiri, cukup dengan cintanya,  dan ketergantungan dalam tempat taqarrubya. Ia melihat batas-batas kejapan-kejapan dalam kecepatan bangunnya. Kebinasaannya tenggelam, lalu mengalir pada dirinya dalam kelanggengan abadi, dan pemedihan cobaan, bahkan sampai cobaan itu sendiri lekat nikmat dengannya, dan merasa masra dengan cobaan itu demi keabadiannya". 

"Ketika ia melihat-Nya begitu dekat, ia mencegah dirinya dengan mendatangi sengatannya. Ia tak pernah merasa lelah memikulnya, tidak diletihkan oleh kebosanannya". 

"Mereka adalah orang-orang gagah dalam menghadapi cobaan, karena adanya kegembiraan bagi mereka. Mereka berdiri dalam keperkasaan-Nya, menunggu perintah-Nya, agar Allah سبحانه و تعالى melakukan suatu perintah untuk dilaksanakan".

Kalangan ahlul bala’ diantaranya adalah: 
  • Di antara mereka ada yang menyenangi pada cobaan-Nya, maka lalu ia tenteram pada kehendak-Nya, ia tak memedulikan kesenangan untuk memuaskan dirinya terhadap segala sesuatu. 
  • Kesenangannya dengan wujud rasanya, hingga ia terkalahkan dan termakar dengannya, yang membuatnya cerai-berai.  Namun ia bersiap diri untuk menyambut cobaan-Nya sebagai kehormatan, dan ia memandang bahwa penyebab keluar dari cobaan adalah faktor yang menyebabkan kekurangan dan kelemahan .
Wallahu a'lam bishowab.

Intuisi Rabbani

Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Sepertinya pemahaman itu tiba-tiba saja datangnya dari dunia lain dan di luar kesadaran. Misalnya saja, seseorang tiba-tiba saja terdorong untuk membaca sebuah buku.


Intuisi Rabbani atau intuisi Ilahi akan diraih ketika berusaha menghidupkan hati dengan ma’rifatullâh. Intuisi Rabbani bukanlah sekadar intuisi biasa, tapi merupakan nur Ilahi yang memenuhi seluruh sudut hati. Intuisi Rabbani ditunjukkan melalui dua bukti:

  • Pertama, muncul bersamaan dengan syariat bagi pelakunya, dan ada bukti-bukti kebenarannya.Tidak diawali hasrat nafsu ketika menerima intuisi tersebut, justru muncul ragam keleluasaan. Intuisi tersebut merobohkan nafsu, tanpa adanya permulaan seperti pada intuisi syetan.  Hanya saja kecepatan nafsu berselaras dengan intuisi syetan, lebih banyak, lebih gamblang, dan lebih membuatnya malas.
  • Kedua, kita harus mengetahui perbedaan antara intuisi RabbanI, intuisi nafsu dan intuisi syetan. Intuisi syetan itu datang dari sisi syahwat dan kesenangannya.  Sedangkan intuisi Rabbani datang dari segi beban dan tugas.  Intuisi Nafsu menolak kedatangan tugas dari intuisi Rabbani. 


Apabila kita kedatangan intuisi, maka timbanglah dengan tiga kriteria di atas, sehingga kita bisa membedakan berbagai intuisi.



Jadikanlah prioritas agar  setiap intuisi syetan dan intuisi nafsu  itu dapat sdengan segera kita enyahkan dan  bergegaslah dengan intuisi Rabbani. Jangan pernah kita abaikan intuisi Rabbani itu, sebab waktu itu sempit dan kondisi ruhani kita bisa berubah. Kita harus waspada dengan buaian nafsu dan  syetan.  Sebab pintu ini termasuk pintu kebajikan yang dibukakan untuk kita, maka raihlah hingga kita bisa memulainya dari awal.



Sebagai contohnya adalah muncul bisikan kepada kita yang dianjurkan untuk berpuasa sunnah lalu intuisi itu datang dan berkata:
“Sudahlah, nanti saja. Besok juga masih bisa”.

Ketika kita akan mengerjakan qiyamullail, lalu intuisi itu datang dan berkata:
“Nanti saja, bukankah lebih utama jika dikerjkan di akhir waktu”.

Padahal intuisi seperti itu adalah rekayasa syetan untuk menghalang-halangi suatu yang bermanfaat. Intuisi seperti itu tidak abadi, namun cepat berubah.

Sedangkan bergegas untuk berpegang erat pada intuisi Rabbani, sangat dianjurkan dalam syariat.  Ada dua manfaat di dalamnya:

  • Pertama,  bahwa waktu yang ada adalah waktu yang paling sempurna,  seperti waktu-waktu dimana hadist-hadist menyebutkan turunnya anugerah dari Allah سبحانه و تعالى,  dan turunnya rahmat beserta ampunan-Nya.  Sementara pandangan-pandangan Allah سبحانه و تعالى  kepada makhluk-Nya tiada terbatas.
  • Kedua, ghirah untuk bersegera untuk menjalankan segala amalan kebajikan dan kita juga akan menjadi pribadi yang taat ketika muncul berkah dibaliknya.  Di sinilah rasa malas akan menjadi sirna, karena berhadapan dengan hembusan-hembusan Rahmat Allah سبحانه و تعالى

Demikian pula sekaligus menjadi manfaat olah jiwa (riyadhoh nafsu) untuk segera melaksanakan amal kebajikan. 


Wallahu A'lam Bishowab.

Friday, February 24, 2017

Ratib Al-Attas


  • Ratib Al-Attas adalah:

عَزِيْزُ الْمَنَالِ وَ فَتْحُ بَابِ الْوِصَالِ
"Sesuatu yang sukar di peroleh dan kunci bagi pintu penghubung kepada Allah".

Nama inilah yang dipilih oleh Al Habib Muhammad bin Salim Al-Attas ketika menyusun Ratib Al Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas dalam bahasa arab, Melayu dan Tamil.

  • Ratib Al-Attas itu adalah:
حِصْنُ الْحَصِيْنُ 
"Benteng yang kokoh".

  • Ratib Al-Attas itu adalah:
اَلْكِبْرِيْتُ الْأَحْمَرُ 
"Belerang yang merah".

Salah satu istilah untuk menafsirkan sesuatu benda yang amat berharga yang sukar didapati di sembarang waktu dan tempat.

  • Ratib Al-Attas itu adalah:
مَغْنَاطِيْسُ الْأَسْرَارِ لِمَنْ وَاظَبَ عَلَيْهِ بِاللَّيْلِ وَ النَّهَارِ

"Magnet rahasia-rahasia bagi mereka yang mengamalkannya pada waktu malam dan siang".

  • Ratib Al-Attas itu adalah:
اَلدِّرْيَاقُ (الترياق) الْمُجَرَّبُ 
"Penawar bagi racun yang mujarrab".

Menurut perkataan dari Al Habib Husein bin Abdullah Al-Attas di dalam kitab فتح رب الناس fathu rabbin naas, nama ini dinamakan oleh gurunya Al Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas apabila menerangkan kelebihan ratib Al Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas.

  • Ratib Al-Attas itu adalah:
مَنْهَلُ الْمَنَالِ وَ فَتْحُ بَابِ الْوِصَالِ

"Sumber pencapaian dan kunci bagi pintu penghubung kepada Allah".

Nama ini hanya terdapat di Tajul A'ras oleh Al Habib Ali bin Husein Al-Attas yang menerangkan bahwa dalam kitab Al Qirtas yang beliau terima tertulis nama Ratib Al-Attas sebagai مَنْهَلُ الْمَنَالُ dan bukan عَزِيْزُ الْمَنَالُ.

Ratib Al-Attas merupakan kumpulan dzikir yang telah disusun oleh Al Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas, seorang ulama dan wali yang besar di negeri Hadhramaut. Al Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas lahir di Al-Lisik pada tahun 992 H dan meninggal dunia di Nafhun dan dimakamkan di Huraidhah pada hari kamis 23 Rabiuts-Tsani tahun 1072 H pada umurnya 80 Tahun.

Al Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas tidak meninggalkan satupun tulisan kecuali Ratib Al-Attas yang sekarang telah berumur kira-kira 400 tahun.

Ratib Al-Attas hingga sekarang masih dibaca di berbagai negara seperti di Afrika termasuk Darussalam, Mombassa dan Afrika selatan. Juga di Great Britain, Burma (Myanmar), India dan Negara-negara Arab.

Di Afrika, Ratib Al-Attas disebarkan oleh murid-murid Al Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas seperti Al Habib Ahmad Masyhur Al Haddad dan lain-lain. Di India, Kamboja dan Burma oleh Al Habib Abdullah bin Alawi Al-Attas. Sehingga sekarang kumpulan-kumpulan ratib Al Habib Umar bin Abdurrahman Al-Attas atau Zawiyah masih diamalkan di Rangoon dan di beberapa daerah di Burma. Tetapi mereka lebih terkenal disana dengan Tariqah Al-Attasiyyah.

Di Terangkan oleh Al Faqir Al Akhwani Fillah Al Habib Agil bin Mukhsin bin Syeikh Al-Attas di Majelis Bulanan Ash-Shafa fii Madhi Rasulillah .

Wallahu A'lam Bishowab.

Friday, February 17, 2017

Caci-maki Dan Cara Menghadapinya.

Caci-maki dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan sebagai kata-kata kotor (tidak sopan) yang dikeluarkan untuk mengumpat seseorang; kata-kata makian (sebagai penghinaan); celaan; cercaan; nistaan; dampratan; maki-makian.sedangkan mencaci maki itu berarti menghina dengan kata yang kurang sopan; memaki-maki.

Siapa sih yang tidak pernah dicaci-maki oleh haters. Jangankan kita sebagai manusia yang memang hina, manusia yang paling muliapun Rasulullah   tak luput dari caci-maki. Rasulullah   pernah dituduh sebagai tukang sihir, orang gila, pendusta, dan tudahan-tuduhan miring lainnya oleh orang-orang kaum Kafir Quraisy dan orang-orang yang munafik.

Sebagai manusia yang dhoif, kita tidak luput dari salah, pastinya dalam menghadapi caci-maki tersebut kita hadapi dengan emosi juga. Bahkan hanya karena dicaci maki bisa membuat kita menjadi bersedih hati dan hidup menjadi getir karenanya. Seakan-akan dunia ini telah kiamat.

Oleh sebab itu, janganlah kita bersedih hati,  jangan biarkan hati menjadi keruh dan jangan biarkan hidup menjadi getir karenanya. Berbahagialah karena kita yang tetap akan mulia walau sedang dihina. Mari kita ambil contoh dari akhlaqul karimah Rasulullah  .

Bagaimana cara menghadapinya? 
Caci maki dapat kita hadapi dengan:
  • Bersyukur ketika ada orang yang menghardik kita.
  • Sujud Hati alias diam, memaafkan pelakunya dan kita ikhlas menerimanya.

Jika kita dapat menunaikan melakukan 2 hal ini maka insya Allah kita telah memilki akhlaqul karimah. Sebagai mana dalam sebuah riwayat Abdullah bin Ash رضي الله ﺗﻌﺎﻟﯽٰ عنه berkata: 
"Akhlaq Rasulullah bukanlah orang yang keji dan bukan orang yang jahat, bahkan Rasulullah ﷺ. bersabda "sesungguhnya orang yang paling baik diantara kalian adalah yang paling baik budi pekertinya." (HR. Bukhari -Muslim)

Dan Ketika ada orang yang mencaci-maki kita, maka kita tidak boleh membalasnya dan harus memaafkannya, serta kita harus tetap untuk dapat menjalankan kewajiban kita untuk mememenuhi hak seorang seorang muslim atas muslim lainnya.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah ﷺ. bersabda:
"Hak seorang Muslim atas Muslim lainnya ada enam: (1) Jika engkau bertemu dengannya, maka ucapkan salam, dan (2) jika dia mengundangmu maka datangilah, (3) jika dia minta nasihat kepadamu berilah nasihat, (4) jika dia bersin dan mengucapkan hamdalah maka balaslah (dengan doa: Yarhamukallah), (5) jika dia sakit maka kunjungilah, dan (6) jika dia meninggal maka antarkanlah (jenazahnya ke kuburan).” (HR. Muslim).


Wallahu a'lam bishowab.