Thursday, December 5, 2019

Hukum Takwil Mimpi


Mimpi adalah perkara yang ghaib dan merupakan pengalaman bawah sadar yang melibatkan penglihatan, pendengaran, pikiran, perasaan, atau indra lainnya dalam tidur, terutama saat tidur yang disertai gerakan mata yang cepat (rapid eye movement/REM sleep). Kejadian dalam mimpi biasanya mustahil terjadi dalam dunia nyata, dan di luar kuasa pemimpi. Mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan. Dalam mimpi ada sebuah pesan terdalam agar kita bisa bermawas diri dan lebih berhati-hati dalam menghadapi kehidupan didunia ini.

Lalu bagaimaana hukumnya dalam menakwilkan mimpi?
Para ulama sepakat jika kita diperbolehkan untuk menceritakan mimpi dan meminta penakwilan darinya. Dalam sebuah riwayat Rasulullah ﷺ pernah menafsirkan mimpinya dan mimpi orang lain. Abu Bakar pernah menafsirkan mimpi dihadapan  Rasulullah ﷺ.
Didalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas telah menceritakan seorang laki-laki yang mendatangi  Rasulullah ﷺ seraya mengatakan; 
"Tadi malam aku bermimpi melihat segumpal awan yang meneteskan minyak samin dan madu, lantas kulihat orang banyak memintanya, ada yang meminta banyak dan ada yang meminta sedikit, tiba-tiba ada tali yang menghubungkan antara langit dan bumi, kulihat engkau memegangnya kemudian engkau naik, kemudian ada orang lain memegangnya dan ia pergunakan untuk naik, kemudian ada orang yang mengambilnya dan dipergunakannya untuk naik namun tali terputus, kemudian tali tersambung".

Spontan Abu Bakar RA berujar:
‘Wahai Rasulullah ﷺ, ayah dan ibuku untuk tebusanmu, demi Allah, biarkan aku untuk mentakwilkannya!".

Rasulullah ﷺ lalu mengatakan; 
“Takwilkanlah”. 

Abu Bakar RA lalu menjelaskanya dengan mengatakan; 
"Adapun awan, itulah Islam, adapun madu dan minyak samin yang menetes, itulah Alquran, karena alqur’an manisnya menetes, maka silahkan ada yang memperbanyak atau mempersedikit, adapun tali yang menghubungkan langit dan bumi adalah kebenaran yang engkau pegang teguh sekarang ini, yang karenanya Allah SWT meninggikan kedudukanmu, kemudian ada seseorang sepeninggalmu mengambilnya dan ia pun menjadi tinggi kedudukannya, lantas ada orang lain yang mengambilnya dan terputus, kemudian tali itu tersambung kembali sehingga ia menjadi tinggi kedudukannya karenanya, maka beritahulah aku ya Rasulullah, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu, apakah aku ini benar ataukah salah? ".
Rasulullah ﷺ menjawab: 
“Engkau benar sebagian dan salah sebagian!”.
Abu Bakar mengatakan; 
"Demi Allah ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kepadaku takwilku yang salah!".
Rasulullah ﷺ lalu menjawab: 
“Janganlah engkau bersumpah!”.

(HR. Bukhari).
Dari hadist diatas dapat dijadikan salah satu dalil untuk dibolehkannya menakwilkan mimpi kita karena hal itu juga dibolehkan bagi selain Rasulullah ﷺ.

Dalam sebuah riwayat Rasulullah ﷺ bersabda:
وَالرُّؤْيَا ثَلَاثَةٌ فَرُؤْيَا الصَّالِحَةِ بُشْرَى مِنْ اللَّهِ وَرُؤْيَا تَحْزِينٌ مِنْ الشَّيْطَانِ وَرُؤْيَا مِمَّا يُحَدِّثُ الْمَرْءُ نَفْسَهُ
“Mimpi itu ada tiga: (1) Mimpi yang baik sebagai kabar gembira dari Allah. (2) mimpi yang menakutkan atau menyedihkan, datangnya dari syetan. (3) mimpi yang timbul karena ilusi angan-angan atau khayal seseorang.” (HR. Muslim).

Menurut Markaz Al-Fatwa (4473), yang mengingkari mimpi hanyalah kaum mu'tazilah dan orang-orang atheis saja. Namun, dalam menafsirkan mimpi perlu diperhatikan rujukan yang jelas. Misalkan, merujuk pada tafsir mimpi yang ditulis para ulama seperti Ibnu Sirin.
Wallahu Alam Bishowab.

No comments: