Inna lillah wa inna ilaihi rajiun.
Hari itu sebuah berita
duka telah menciptakan tangisan, kepiluan dan ratapan yang mendalam dari masyarakat kota kufah yang menyayat kalbu yang mengiringi kepergian Al Hasan bin Ali bin Abbi
Thalib.
Angin kencang dan berita duka merayap hingga menerpa gerbang Kufah. Masyarakat kota kufah menyongsong kabar kematian putra sulung Fathimah binti Muhammad itu dengan dengus dendam dan gemertak geraham beradu. Kutukan dan sumpah serapah mereka merebak ke setiap rumah dan menampar daun telinga penghuni istana Muawiyah.
Para tokoh pendukung Ahlulbait mengendap-endap menuju rumah Sulaiman bin Shard al Khuza’I diam-diam mereka mengadakan rapat darurat di ruang bawah tanah (sirdab) rumah Sulaiman. Suara Sulaiman bercampur kesedihan dan kemarahan, yang nyaris melengking menghentikan suasana bising dalam ruangan itu.
“Rekan-rekan seperjuangan! Al Hasan bin Ali yang kita cintai, telah pergi menemui Kekasihnya, Allah SWT, dalam keadaan teraniaya. Kini telah tiba saatnya kita membuktikan kecintaan dan kesetiaan kepada Ahlulbait dengan mendukung al Husain bin Ali sebagai pemimpin yang sah dan menolak dengan tegas Muawiyah bin Abi Sofyan yang zalim. Mari kita tunjukkan dukungan dengan mengundang kedatangan al Husain ke kota kita untuk memulai perlawanan terhadap kekuatan Jahiliah yang terpusat di Damaskus! Allahu Akbar!”
Pidato berapi-api yang keluar dari mulut lelaki tua berwibawa itu membakar jiwa para peserta rapat. Mereka meneriakkan yel-yel menyambutnya dengan mengatakan:
“Hidup al-Husain!”
“Hancurkan pemerintah jahiliah!”
“Binasalah Muawiyah!”
setiap orang dalam ruangan tertutup itu secara bergiliran mengungkapkan dan menyatakan dukungan dengan caranya masing-masing. Wajah Sulaiman tampak berseri.
“Aku mohon hadirin untuk segera meninggalkan ruangan ini, karena saya khawatir antek-antek dan mata-mata Nu’man akan segera menemukan kita. Namun, sebaiknya kita keluar dari ruangan ini sendiri-sendiri. Saya akan meminta beberapa orang untuk tetap di sini guna menyususn surat dukungan dan undangan kepada al-Husain.”
Pesan Sulaiman telah mereka laksanakan dengan baik. Kini di ruangan itu hanya ada Sulaiman, pemilik rumah, al Musayyib bin Najiyah, Rifa’ah bin Syidad, dan Habib bin Mazhahir. Mereka sibuk berembuk memilih kata dalam surat untuk al Husain, dan memilih siapa yang akan diutus ke Madinah.
Rapat berakhir dengan pernyatan bersama dalam sebuah surat yang ditujukan kepada putra kedua Ali bin Abi Thalib itu. Surat yang ditandatangani oleh Sulaiman atas nama para pemuka Kufah itu segera dibawa oleh seorang kurir menuju Madinah. Isi surat itu berbunyi sebagai berikut:
“Dari Sulaiman bin Shard, al Musayyih bin Najiyah, Rifa’ah bin Syidad, habib bin Mazhahir, atas nama orang-orang Mukmin Kufah, kepada al Husain bin Ali….”
Suasana dan suhu udara kota Kufah belakangan ini terasa lebih panas. Ketegangan mencekam para penduduknya. Lorong-lorong tampak lengang bisu, meski sesekali teriakan bocah-bocah yang bermain petak umpet terdengar menusuk telinga.
Berita tentang pertemuan rahasia dan sikap tegas warga Kufah menyebar ke pasar-pasar Baghdad, Syam dan Makkah.
Dari kejauhan lampu-lampu istana serentak menyala, pertanda angkasa mulai ditinggal sang mentari. Muawiyah yang sedang duduk termenung dengan lutut kanan tertekuk di antara beberapa bantal gembung beraneka warna, dilanda kekalutan, mengernyitkan dahi hingga guratan kening dan wajahnya tampak lebih mirip seonggok daging matang. Setelah beberapa kali batuk dan mengusapkan sebuah bantal berlapis sutera pada mulutnya yang bertabur bintik dahak kental dan darah kehitaman, putra kesayangan Abu Sufyan itu memanggil pembantu dan menyuruhnya menyediakan stangkai pena dan selembar kulit.
Berita tentang dukungan yang mengalir pada al Husain seakan membakar jenggotnya. Ia mulai merangkai kata, menyuguhkan sederet ancaman kepada adik al Mujtaba (al Hasan bin Ali bin Abi Thalib) yang telah diracunnya itu. Sebuah teriakan dari kamar Sang Khalifah terdengar amat lantang memanggil nama dua pengawal yang sedang asyik berjudi di belakang istal kuda istana.
Keduanya sangat terperanjat lalu lari tunggang langgang nyaris menabrak salah seorang penari istana. Setelah dibubuhi tanda tangan dan symbol kerajaan (khilafah), surat diserahkan kepada dua pengawal untuk disampaikan kepada al Husain bin Ali bin Abi Thalib di Madinah. Perintah saat itu dilaksanakan.
Di Madinah, Abu Abdillah (al Husain bin Ali bin Abi Thalib) pun telah menerima surat Muawiyah. Setelah itu beliau mempersilahkan kedua orang itu meninggalkan rumahnya, Al Husain membaca isi surat yang tertulis sebagai berikut:
"Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada al Husain bin Ali. Aku telah mencium gelagat buruk yang menyumbat rongga napasku. Berita-berita seputar kau yang beredar di beberapa Negara bagian dan kota telah membuatku merasa perlu meluangkan waktu untuk menghubungimu melalui surat yang kutitipkan pada dua pengawalku".
"Aku dengar, beberapa gelintir orang yang mengaku sebagai para pemuka Kufah telah mendesakmu menjadi pemimpin mereka. Upaya ini, kendati sepintas menggelikan, membuatku sangat risau. Karena itulah, aku merasa perlu bermurah hati untuk memperingatkanmu".
Seusai membaca surat itu, al Husain segera menulis surat balasan. Dengan jemari kanannya al Husain menggerakkan pena dan merangkai kata dengan maksud yang jelas dan nada yang tegas. Surat yang tertulis sebagai berikut:
"Dari al Husain bin Ali bin Abi Thalib kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Suratmu telah sampai dan seluruh isinya telah kumengerti. Yang perlu kau ketahui dan camkan ialah, aku tidak pernah berniat untuk menerjang kebijaksanaan al Hasan, saudarakau yang telah menandatangani pakta perdamaian denganmu. Kabar-kabar dan desas-desus seputar diriku yang telah menyambar hidung, telinga dan dadamu itu hanyalah dusta yang menyembur dari para penebar racun perpecahan".
"Demikian surat dan penegasan dariku. Allah, yang maha benar, selalu mendukung orang-orang yang benar".
Beberapa hari kemudian, surat al Husain diserahkan kepada lelaki yang sedang duduk bersila dikelilingi para penasehat dan penyair yang selalu siap menggelitiknya dengan beragam sanjungan. Isi surat al Husain cukup melegakan hati Muawiyah. Pesta diselenggarakan nanti malam. Selama beberapa waktu pemerintahan Muawiyah tidak goyah.
Wallahu A'lam Bishowab.
No comments:
Post a Comment