Tuesday, October 29, 2019

Puasa Akal.

Kata ‘Akal’ dalam Al-Qur’an telah disebutkan setidaknya ada 49 kali, Kata akal merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu kata al-‘aql (العقل) yang merupakan mashdar dari kata (عَقَلَ يَعْقِلُ عَقْلاً ومَعْقولاً) berarti tali pengikat, pikiran, ingatan, paham dan rasio.

Puasa akal merupakan salah satu dari puasa tiga unsur manusia dengan melawan keinginan. Syekh Zakaria al-Anshari menjelaskan, dengan akal kita dapat mengetahui antara yang baik dan yang buruk, dan itu dapat dihasilkan dengan melawan keinginan atau hawa nafsu. (Syekh Mustafa al-‘Arusy, Natâij al-Afkâr al-Qudsiyyah fî Bâyani Ma’âni Syarh Risalah al-Qusyairiyyah, Lebanon, Dar el Kutub ‘Ilmiyyah, 2007, halaman 307).

Melawan keinginan disini bukan hanya sekedar melawan hawa nafsu saja. Tapi juga berlaku dalam ibadah, terutama dalam puasa sunnah dan bukan puasa wajib. Karena dalam puasa sunah, kita memiliki kebebasan untuk melanjutkan puasa atau membatalkannya, sekalipun tidak uzur..

Dalam hadist lain disebutkan dari Ummu Hani’RA, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:


الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ

“Orang yang melakukan puasa sunah, menjadi penentu dirinya. Jika ingin melanjutkan, dia bisa melanjutkan, dan jika dia ingin membatalkan, diperbolehkan.” (HR. Ahmad -Turmudzi 732)

Perlu kita pahami bersama jika puasa wajib, baik ketika bulan ramadhan maupun di luar ramadhan, seperti puasa nazar, atau puasa qadha, atau puasa kaffarah, tidak boleh dibatalkan. Kecuali jika ada uzur, seperti sakit, safar, atau uzur lainnya. Sebagaimana Ibnu Qudamah mengatakan:

ومن دخل في واجب، كقضاء رمضان، أو نذر معين أو مطلق، أو صيام كفارة؛ لم يجز له الخروج منه؛ لأن المتعين وجب عليه الدخول فيه، وغير المتعين تعين بدخوله فيه، فصار بمنزلة الفرض المتعين، وليس في هذا خلاف بحمد الله

Siapa yang telah memulai puasa wajib seperti qadha ramadhan, puasa nazar hari tertentu atau nazar mutlak, atau puasa kafarah, tidak boleh membatalkannya. Karena sesuatu yang statusnya wajib ain, harus dilakukan. Sementara yang bukan wajib ain, menjadi wajib ain jika telah dilakukan. Sehingga statusnya sama dengan wajib ain. Dan dalam hal ini tidak ada perselisihan, alhamdulillah.. (Al-Mughni, 3/160 – 161)

Puasa sunah yang  boleh dibatalkan tanpa wajib diganti menjadi pegangan madzhab Syafi’I dan dan Hambali. Pendapat ini diperkuat oleh sejumlah riwayat:

Suatu ketika Aisyah RA berkata;

“Wahai Rasulullah, kita diberi hiys (kurma yang dicampur dengan samin dan susu).” 

Beliau berkata:
“Bawalah kemari. Tadinya aku berpuasa.” 

Rasulullah ﷺ pun segera memakannya. 

Dalam riwayat al-Nasâ’i ada tambahan yang berbunyi;

 “Puasa sunnah seperti orang yang mengeluarkan hartanya untuk sedekah. Ia bisa terus mengeluarkannya dan bisa pula menahannya.” (H.R. Muslim dan tambahan al-Nasâ’i terdapat dalam Sunan-nya.)

Dalam hal ini  dapat kita simpulkan jika kita sedang dalam keadaan puasa sunnah, lalu ada yang menawarkan makanan. Maka pilihannya kembali kepada diri kita masing-masing. Jika ingin melanjutkan boleh dan jika langsung membatalkan juga juga dipersilakan. 

Jika kita langsung membatalkan puasa sunnah kita maka pada hakekatnya kita telah mengerjakan 2 macam puasa yaitu puasa sunnah dan puasa akal.

Jika kita tidak membatalkan puasa sunnah kita maka pada hakekatnya kita hanya mengerjakan  puasa sunnah saja.

Jadi dapat kita simpulkan jika puasa akal itu erat hubungannya dengan Hablum minannas yaitu akhlak yang baik terhadap sesama manusia.

Wallahu Alam Bishowab.

No comments: