Wednesday, March 27, 2013

Kisah Nyata: “Papa, Mama, Rio akan Tunggu Di Pintu Syurga”

Saya merupakan sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, saya beserta keluarga rutin berdoa bersama-sama. Bahkan, saking taatnya, saat saya akan dilamar calon suami saya  yang beragama Islam, dengan tegas saya mengatakan:
“Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”. 

Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang saya menggoyahkan Iman calon suami saya yang merupakan seorang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Calon suami saya pun menjadi murtad dan masuk Katolik, sekedar untuk bisa menikahi dengan saya. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, kami melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.

Usai menikah, saya laangsung menyelesaikan kuliah saya di Jogjakarta, kemudian saya beserta suami berangkat ke Bandung, kemudian kamipun menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang tersebut. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga kami ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati kami, yakni: Adi, Icha dan Rio.
Di lingkungan baru tempat tinggal kami, saya dan suami sangat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Selain juga aktif di Gereja, suami saya juga menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.

Karena Ketaatan kami memegang iman Katolik bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Kamipun berhasil membeli sebuah rumah yang ‘disulap’ menjadi tempat ibadah (Gereja.

Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, suami saya tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cintanya, suami saya memberangkatkan ayahanda dan ibundanya ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.

Hidup harmonis dan berkecukupan telah mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga kami. Sampai satu ketika, kegelisahan menggoncang kami. Saat itu Rio, si bungsu yang sangat kami sayangi tiba-tiba jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat kami segera melarikan sibungsu  ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.

Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi kami masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangan kami yang tak kunjung membaik.

Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta suami saya, untuk memanggil saya yang tengah berada di luar ruangan. Suami saya pun keluar ruangan untuk memberitahu saya sesuai dengan permintaan dari anak bungsu kami itu.

Namun, saya takut dan  tak berani untuk masuk ke dalam. Saya hanya dapat mengatakan pada suami saya:
”Saya sudah tahu.”.

Suami sayapun menjadi heran. Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benaknya.

Di dalam, Rio berucap:
 “Tapi sudahlah, Papah aja, tidak apa-apa.”

lalu Rio melanjutkannya dengan mengatakan:
“Papa, hidup ini hanya 1 cm. Di sana nggak ada batasnya,”.

Sontak, rasa takjub menyergap suami saya. Ucapan bocah mungil buah hati kami yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama.

Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar:
 “Pa, Rio mau pulang!”.

Suami sayapun menjawab:
“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama ya".

Dengan setengah memaksa Rio berkata:
“Nggak pa, Rio mau pulang sekarang. Papa, Mama, Rio tunggu di pintu surga ya!”

Begitulah ucap Rio yang membuat kami semakin terkejut. Belum hilang keterkejutan suami saya tiba-tiba ia mendengar ‘bisikan’ yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada Rio. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun suami saya untuk membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Suami saya masih hafal syahadat, karena sebelumnya dia adalah seorang Muslim.

Tak lama setelah itu ‘bisikan’ kedua terdengar dan mengatakan jika setelah waktu adzan Maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, suami saya pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup adzan Maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhirnya.

Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. saya yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata:
 “Mah Rio tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.”

Menurut Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.

Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Riopun kemudian dikenakan pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.

Sepeninggal Rio, sayapun sering berdiam diri. Satu hari, saya mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap;
 “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.”

Pada saat itu juga saya  langsung teringat ucapan almarhum Rio semasa TK dulu, Rio pernah berkata:
 ”Ma, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!”. 

Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah. Saat itu saya langsung menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum:
“Kok Mama ga dikasih?”.

Dengan singkat Riopun mejawab:
“Mama kan nanti punya sendiri”.

Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, saya bergegas meminta suami saya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini saya artikan sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.

Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi saya via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan:
“Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia disini. Kalo Mama kangen, berdoa saja”.

Namun, pesan itu tak lantas membuat saya tenang. Bahkan saya mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.

Satu malam saat saya sedang tertidur, saya dibangunkan oleh suara seorang pria yang berkata:
“Buka Alquran surat Yunus!”.

Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Al Quran dari sepupu saya, dan membacanya berulang-ulang pun, saya tetap saja tak mendapat jawaban.

Sembari menangis tersungkur ke lantai sayapun protes  setengah berteriak dan berkata:
“Mau Tuhan apa sih?!” .
Dinginnya lantai membuat hati saya berangsur menjadi tenang, dan spontan mengucapkan:
 “Astaghfirullah”.

Tak lama kemudian, akhirnya saya menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49 Allah  سبحانه و تعالى  berfirman:
“Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.

Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat saya  berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya saya sebagai  penganut Katolik yang taat lalu berkata:
 “Ya Allah, terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.

Setelah memeluk Islam, sayapun secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu suami saya, masih tetap rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja oleh suami saya, saya selalu saja menolak dengan berbagai alasan.

Sampai suatu malam, suami sayapun terbangun karena mendengar isak tangis saya. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya suami saya saat melihat saya tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya. Lalu bertanya
“Lho kok Mamah shalat”.

Dengan lirih sayapun menjawabnya:
“Maafkan saya, Pa. Saya duluan, Papa saya tinggalkan”.

Sayapun pasrah akan segala resiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.

Sejak keputusan saya untuk memeluk Islam, suami sayapun seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, saya mengantar Adi, putra pertama saya untuk mengikuti lomba adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal.

Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Suami sayapun sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.

Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, sayapun  berpesan kepada Adi:
 “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!”.

Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air matapun mengalir tak terbendung, basahi pipi saya yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.

Usai lomba saya dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti kami. Saat baru saja membuka pintu kamar, saya terkejut melihat suami saya tengah melaksanakan shalat.Sayapun spontan terkulai lemah di hadapan suami tercinta. Selesai shalat, suami sayapun langsung meraih saya dan mendekapnya erat.

Sambil berderai air mata, ia berucap lirih:
“Ma, sekarang Papa sudah masuk Islam.”

Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri kamipun mengikuti jejak kami untuk memeluk Islam.

Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga kami pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman.

Wallahu A'lam Bishowab.

No comments: