Sunday, April 24, 2016

Syech Siti Jenar Tidak Pernah Dieksekusi Wali Songo

Tulisan ini hanya untuk Meluruskan Fitnah Kubro mengenai pandangan orang-orang tentang kisah kematian Syech Siti Jenar yang telah dieksekusi Wali Songo. Apakah benar jika Syech Siti Jenar itu telah dieksekusi Wali Songo?. Dan mana versi yang benar mengenai kisah kematian Syech Siti Jenar hanya Allah yang maha mengetahui. 

Banyak versi yang kita temui menceritakan tentang kematian Syech Siti Jenar menunjukkan bahwa tokoh Syech Siti Jenar memang sangat kontroversional. Berbagai literatur yang ada tidak dapat memastikan keberadaannya dan proses kematiannya, disebabkan oleh banyak faktor dan kepentingan yang mengitarinya. 

Walaupun demikian, sejumlah besar keterangan yang mengisahkan tentang keberadaannya dan memerlihatkan ajarannya yang selalu dipertentangkan dengan paham para Wali, namun sekaligus tidak jarang membuat para Wali itu sendiri “kagum” dan “mengakui” kebenaran ajarannya. Tentu saja, “pengakuan” dan “kekaguman” itu tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit karena akan mengurangi “keagungan” mereka, disamping kurang objektifnya penulisan serat dan babad tanah Jawa, yang terkait dengan Syech Siti Jenar. 

Kita bisa lihat  dalam berbagai Serat dan Babad tersebut, akhir dari kisah Syech Siti Jenar selalu dihiasi dengan usaha-usaha intrik politik para Wali. Bisa jadi hal ini memang dilakukan oleh para ulama penjilat kekuasaan dan bukan para wali ataupun oleh murid-murid generasi penerus para ulama yang tidak menyukai ajaran Syech Siti Jenar, atau para penulis kisah yang juga memiliki kepentingan tersendiri terkait dengan motif politik, ideologi, keyakinan, dan ajaran keagamaan yang dianutnya. 

Dalam sebuah riwayat mengenai versi lain kematian Syech Siti Jenar disebutkan bahwa terdapat dua orang aktor utama, yang memiliki nama asli yang berdekatan dengan nama kecil Syech Siti Jenar, San Ali (San Ali Anshar al-Isfahani dari Persia, ) yang merupakan teman seperguruan dengan Syech Siti Jenar di Baghdad. Namun ia menyimpan dendam pribadi kepada Syech Siti Jenar karena keilmuan dan kerohanian yang dimiliki oleh Syech Siti Jenar.  Dan  adalah Hasan Ali, yang merupakan nama Islam dari  Pangeran Anggaraksa, anak Rsi Bungsi yang sangatberambisi menguasai Cirebon, namun kemudian diusir dari Keraton, karena kedurhakaan kepada Rsi Bungsi dan pemberontakannya kepada Cirebon. Ia menaruh dendam kepada Syech Siti Jenar yang telah berhasil menjadi seorang Imam besar dan guru utama di Giri Amparan Jati. 



Suatu ketika saat usia Syech siti Jenar sudah udzur, kedua aktor ini bekerja sama saling membahu untuk berkeliling ke berbagai pelosok tanah Jawa, ke tempat-tempat yang penduduknya menyatakan diri sebagai pengikut Syech Siti Jenar, padahal mereka belum pernah bertemu dengan Syech Siti Jenar. Sehingga masyarakat tersebut kurang mengenal sosok asli Syech Siti Jenar. Pada tempat-tempat seperti itulah, dua tokoh pemalsu ajaran Syech Siti Jenar memainkan perannya, mengajarkan berbagai ajaran mistik, bahkan klenik perdukunan yang menggeser ajaran tauhid Islam. 



Hasan Ali mengaku dirinya sebagai Syech Lemah Abang, dan San Ali Anshar mengaku dirinya sebagai Syech Siti Jenar. Hasan Ali beroperasi di Jawa bagian Barat, sementara San Ali Anshar di Jawa Bagian Timur. Kedua aktor ini sebenarnya yang dihukum mati oleh para Wali Songo, karena sudah melancarkan berbagai fitnah keji terhadap Syech Siti Jenar sebagai guru dan anggota Wali Songo. 



Dikarenakan  silang sengkarut kemiripan nama itulah, maka dalam berbagai Serat dan babad di tanah Jawa, cerita tentang Syech Siti Jenar menjadi simpang siur. Namun pada aspek yang lain, ranah politik juga ikut memberikan andil pendiskreditan nama Syech Siti Jenar. Karena naiknya Raden Fatah ke tampuk kekuasaan Kesultanan Demak, diwarnai dengan intrik perebutan tahta kekuasaan Majapahit yang sudah runtuh, sehingga segala intrik bisa terjadi dan menjadi “halal” untuk dilakukan, termasuk dengan mempolitisasi ajaran Syech Siti Jenar yang memiliki dukungan massa banyak, namun tidak menggabungkan diri dalam ranah kekuasaan Raden Fatah. 


Kisah kematian Syech Siti Jenar dapat juga dikaitkan dengan kekuasaan Sultan Trenggono, sebagaimana tercatat dalam berbagai fakta sejarah, naiknya Sultan Trenggono sebagai penguasa tunggal Kesultanan Demak, adalah dengan cara berbagai tipu muslihat dan pertumpahan darah. Karena sebenarnya yang berhak menjadi Sultan adalah Pangeran Suronyoto, yang dikenal dengan sebutan Pangeran Sekar Seda Ing Lepen, kakak laki-laki Sultan Trenggono yang seharusnya menggantikan Adipati Unus. “Seda Ing Lepen” artinya meninggal di sungai. 

Sebenarnya Pangeran Suronyoto tidak meninggal di sungai, namun dibunuh oleh orang-orang suruhan Pangeran Trenggono, baru setelah terbunuh, mayatnya dibuang ke sungai (Daryanto, 2009: 215-278). Kematian kakaknya tersebut diduga atas strategi Sultan Trenggono. Sultan Trenggono sendiri, pada mulanya tidaklah begitu disukai oleh para adipati dan kebanyakan masyarakat, karena sifatnya yang ambisius, yang dibingkai dalam sikap yang lembut. 

Salah satu tokoh penentang utama naiknya Trenggono sebagai Sultan adalah Pangeran Panggung di Bojong, yang merupakan salah satu murid utama Syech Siti Jenar. Demikian pula masyarakat Pengging yang sejak kekuasaan Raden Fatah belum mau tunduk pada Demak. Banyak masyarakat yang sudah tercerahkan kemudian kurang menyukai Sultan Trenggono. Mungkin oleh karena faktor inilah, maka Sultan Trenggono dan para ulama yang mendekatinya kemudian memusuhi pengikut Syech Siti Jenar. Maka kemudian dihembuskan kabar bahwa Syech Siti Jenar dihukum mati oleh Dewan Wali Songo di masjid Demak, dan mayatnya berubah menjadi anjing kudisan, dan dimakamkan di bawah mihrab pengimaman masjid. Suatu hal yang sangat mustahil terjadi dalam konteks hukum Islam, namun tentu dianggap sebagai sebuah kebenaran atas nama karomah bagi masyarakat awam. 

Keberadaan para ulama “penjilat” penguasa, yang untuk memenuhi ambisi duniawinya bersedia mengadakan fitnah terhadap sesama ulama, dan untuk selalu dekat dengan penguasa bahkan bersedia menyatakan bahwa suatu ajaran kebenaran sebagai sebuah kesesatan dan makar, karena menabrak kepentingan penguasa itu sebenarnya sudah digambarkan oleh para ulama. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ “Ulum al-Din menyebutkan sebagai al-‘ulama’ al-su’ (ulama yang jelek dan kotor). Sementara ketika Sunan Kalijaga melihat tingkah laku para ulama pada zaman Demak, yang terkait dengan bobroknya moral dan akhlak penguasa, disamping fitnah keji yang ditujukan kepada sesama ulama, namun beda pendapat dan kepentingan, maka Sunan Kalijaga membuatkan deskripsi secara halus. Sesuai dengan profesinya dalam budaya, utamanya sebagai dalang, Sunan Kalijaga menggambarkan kelakuan para ulama yang ambisi politik dan memiliki karakter jelek sebagai tokoh Sang Yamadipati (Dewa Pencabut Nyawa) dan Pendeta Durna (ulama yang bermuka dua, munafik). 

Kedua tokoh tersebut dalam serial pewayangan model Sunan Kalijaga digambarkan sebagai ulama yang memakai pakaian kebesaran ulama; memakai surban, destar, jubah, sepatu, biji tasbih dan pedang. Pemberian karakter seperti itu adalah salah satu cara Sunan Kalijaga dalam mencatatkan sejarah bangsanya, yang terhina dan teraniaya akibat tindakan para ulama jahat yang mengkhianati citra keulamaannya, dengan menjadikan diri sebagai Sang Yamadipati, mencabut nyawa manusia yang dianggapnya berbeda pandangan dengan dirinya atau dengan penguasa di mana sang ulama mengabdikan dirinya. Hal tersebut merupakan cara Sunan Kalijaga melukiskan suasana batin bangsanya yang sudah mencitrakan pakaian keulamaan, dalil-dalil keagamaan sebagai atribut Sang Pencabut Nyawa. Atas nama agama, atas nama pembelaan terhadap Tuhan, dan karena dalil-dalil mentah, maka aliran serta pendapat yang berbeda harus dibungkus habis. 

Gambaran pendeta Durna adalah wujud dari rasa muak Sunan Kalijaga terhadap para ulama yang menjilat kepada kekuasaan, bahkan aktivitasnya digunakan untuk semata-mata membela kepentingan politik dan kekuasaan, menggunakan dalil keagamaan hanya untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dengan mencelakakan banyak orang sebagai tumbalnya. Citra diri ulama yang ‘tukang’ hasut, penyebar fitnah, penggunjing, dan pengadu domba. Itulah yang dituangkan oleh Sunan Kalijaga dalam sosok Pendeta Durna. 


Wallahu Alam Bishowab.

Sumber : Ternyata Syekh Siti Jenar Tidak Dieksekusi Wali Songo.  K.H. Muhammad Sholikhin. Erlangga. Boyolali: 2008.

No comments: