Thursday, October 17, 2013

Larangan Menuduh Musyrik




Dalam sebuah hadist qudsi Allah SWT berfirman:
“Aku tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa yang  telah mempersekutukanKu dengan selain-Ku, maka Aku akan tinggalkan ia dan kesyirikannya.” (HR. Muslim).

“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca (menghafal) al-Qur’ân, sehingga ketika telah tampak kebaikannya terhadap al-Qur’ân dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’ân, membuangnya di belakang punggungnya dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allâh, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”.  Beliau menjawab, “Penuduhnya”. (HR. Bukhâri)


Musyrik itu adalah orang yang telah mempersekutukan Allah SWT. Ini adalah dosa terbesar yang tidak diampuni oleh Allah SWT yang merupakan syirik akbar. Meski demikian, kita harus selalu bersangka baik dan menggunakan azas praduga tak bersalah yang serta-merta tidak boleh sembarangan menuduh sesama Muslim sebagai musyrik atau kafir hanya Allah SWT sajalah yang maha mengetahui bahwa seseorang itu syirik atau tidak. Sedangkan kita adalah hanya manusia, makhluk yang dhoif yang tidak lepas dari salah. Karena musyrik itu masalah hati, Kita tidak mengetahui isi hati seseorang, manusia hanya bisa menjudge berdasarkan nafsu, pendengaran, penglihatan, pemahaman & ilmu yang terbatas.

Yang jelas pada dasarnya musyrik itu adalah masalah hati ataupun niatnya. Sebagai contoh misalnya ziarah kubur ketempat orang-orang yang alim karena Orang yang alim meski sudah meninggal pada hakikatnya mereka masih hidup sebagaimana firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang meninggal dijalan Allah, (bahwa mereka itu) meninggal; bahkan (sebenarnya) mereka itu tetap hidup , tetapi kamu tidak menyadarinya. (QS. Al Baqoroh[2]:154) 


Inilah gambaran seorang yang menuduh muslim lainnya telah melakukan kesyirikan. 
Anas berkata: "Merekalah makhluk yang paling jelek” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mushili, dalam al-Musnad IV/132).


Sebagaimana Nabi Muhamad SAW murka kepada Usamah bin Zeyd RA yang telah membunuh seorang pimpinan pasukan  Kafir yang telah terjatuh pedangnya, lalu dengan wajah yang tak serius ia mengucap syahadat, lalu Usamah  RA membunuhnya. ah? betapa murkanya Nabi Muhamad SAW  saat mendengar kabar itu.., seraya bersabda : "
Apakah kau telah membunuhnya padahal ia mengucapkan Nabi Muhamad SAW..?!!.

Lalu Usamah RA berkata: 

"Kafir itu hanya bermaksud ingin menyelamatkan diri Wahai Rasulullah".

Lalu Nabi Muhamad SAW bangkit dari singgasananya dan  dengan wajah yang merah padam dan berkata : 

"Apakah kau telah membelah hatinya sehingga kau mengetahui isi hatinya??!!!"

lalu Nabi Muhamad SAW maju mendekati Usamah RA dan mengulangi ucapannya : 

"Apakah kau telah membelah hatinya sehingga kau mengetahui isi hatinya??!!!" 

Usamah RA pun segera bergegas mundur dan Nabi Muhamad SAW terus mengulanginya : 

"Apakah kau telah membelah hatinya sehingga kau mengetahui isi hatinya??!!!"

hingga Usamah RA berkata : "

Demi Allah dengan peristiwa ini aku merasa alangkah indahnya bila aku baru masuk islam hari ini..(maksudnya tak pernah berbuat kesalahan seperti ini dalam keislamanku). (Shahih Muslim Bab 41 no. 158 dan hadits yang sama no.159)

Dalam riwayat lain disebutkan:

Bahwa Usamah bin Zeyd ra membunuh seorang kafir yang kejam setelah kafir jahat itu mengucap Laa Ilaaha Illallah, maka Nabi Muhamad SAW memanggilnya dan bertanya : "mengapa engkau membunuhnya?"

Usamah RA menjawab : 

"Yaa Rasulullah, ia telah membunuh fulan dan fulan, dan membantai muslimin, lalu saat kuangkat pedangku kewajahnya maka ia mengatakan Laa Ilaaha illallah"

lalu Nabi Muhamad SAW menjawab : 

"Lalu kau membunuhnya..?"

Usamah RA menjawab : 

"benar".

Maka Nabi Muhamad SAW bersabda : 

"Apa yang akan kau perbuat dengan Laa Ilaaha illallah bila telah datang hari akhir..?"

Lalu Usamah RA berkata : 

"Mohonkan pengampunan bagiku Wahai Rasulullah".

Nabi Muhamad SAW  tetap menjawab dengan ucapan yang sama : 

"Apa yang akan kau perbuat dengan LAA ILAAHA ILLLALLAH bila telah datang hari akhir..?"dan beliau terus mengulang ulangnya.. (HR. Muslim ).

Dari Umar RA berkata:  Aku pernah mendengar Rasuulullah SAW bersabda: 
”Sesungguhnya amal perbuatan tergantung kepada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang bergantung dengan apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya”. Diriwayatkan oleh dua orang Imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari, dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairi An-Naisaburi, di dalam kedua kitab Shahih mereka yang merupakan kitab paling shahih yang pernah ditulis.

Banyak contoh yang dapat diambil hikmahnya yang menurut kita itu adalah perbuatan syirik padahal belum tentu apa yang dikerjakan itu merupakan perbuatan syirik atau kemusyrikan. Sebagai contoh saat Malaikat  sujud kepada Nabi Adam AS. Malaikat  tidak melakukan kesyirikan ataupun menyembah Adam AS karena telah sujud dihadapan Adam AS tetapi karena malaikat patuh mentaati perintah Allah SWT. Saat kita sholat menghadap ka’bah bukan berarti kita menyembah ka,bah tetapi karena kita patuh mentaati perintah Allah SWT. Patuh dan taat adalah melaksanakan perintah tanpa ada keraguan sedikitpun dan bantahan.

Begitu juga sebaliknya, ketika seorang itu sholat berjemaah dimasjid, tetapi karena terbesit niat;
” Saya sholat berjemaah karena ada mertua saya" 
Secara syariat itu memang itu adalah kewajiban kita untuk mentaatinya tapi karena niatnya bukan karena lillahi ta’ala, maka ini adalah termasuk dari syirik. Berdasarkan hadist berikut;

“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah syirik kecil”. Para sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’, kelak di hari kiamat ketika amalan manusia diberi balasan, Allah ‘Azza wa Jalla akan mengatakan kepada mereka (yang berbuat riya’’), “Pergilah kepada orang yang kamu harapkan pujiannya sewaktu di dunia dan lihatlah apakah kamu mendapati pahala dari mereka?” (HR Ahmad).

Saat seorang muslim  ziarah ke makam Nabi, orang-orang soleh atau para wali, dengan berdzikir da  berdoa, itu bukan berarti dia syirik dan menyembah makam  tetapi dia sedang bertawasul. Tawasul berarti perantara atau penghubung, sebagaimana Allah SWT memiliki Ruhul Amiin, Jibril AS, untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW. Demikianlah pencapaian makrifat kepada Allah SWT, yakni terungkapnya hijab dengan Allah SWT melalui rantai-rantai wasilah, yakni perantara yang sampai kepada Rasulullah. Demikian karena muslim yang dhaif lagi faqir, maka perlulah bertawassul kepada Balatentara Allah yang suci agar hajatnya mudah sampai hadhirat Allah Yang Agung lagi Suci daripada gambaran hamba yang hina. 

“Wahai orang-orang yang beriman, taqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan yang mendekatkan dirimu kepadaNya dan bermujahadahlah (berjuanglah) pada jalanNya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan”.(QS. Al-Maidah[5]:35).

Sholat di atas makam juga tidak dapat dikatakan syirik.
Dalam suatu riwayat  Abu Hurairah RA berkata;
Dikisahkan ada seorang budak  yang hitam atau pemuda yang biasa menyapu masjid. Suatu hari Rasulullah SAW kehilangan dia, sehingga beliaupun menanyakannya.
"Dia sudah meninggal" jawab para sahabat.
"Mengapa kalian tidak memberitahuku?"
Merekapun seakan tidak terlalu menaruh perhatian terhadap orang tersebut.
Beliau berkata, ‘Tunjukkan padaku di mana kuburannya?’
Setelah ditunjukkan beliau shalat atasnya, lalu bersabda, ‘Sesungguhnya para penghuni kuburan ini diliputi kegelapan. Sekarang Allâh meneranginya lantaran aku sholat atas mereka.’” (H.R. Bukhari).

Membakar  kemenyan/kayu gaharu juga bukanlah sebagai perbuatan musyrik karena membakar kemenyan/kayu gaharu sebetulnya juga termasuk sunnah Nabi. Makanya banyak orang mengekspor gaharu ke Arab. Itu sekedar pengharum ruangan sehingga jadi nyaman. Membakar kemenyan/kayu gaharu tetap sunnah Nabi karena ada dalilnya  sebagai berikut:

Rombongan yang pertama kali masuk surga bentuk mereka seperti bentuk rembulan di malam purnama, mereka tidak berludah, tidak beringus, tidak buang air. Bejana-bejana mereka dari emas, sisir-sisir mereka dari emas dan perak, pembakar gaharu mereka dari kayu india, keringat mereka beraroma misik, dan bagi setiap mereka dua orang istri, yang Nampak sum-sum betis mereka di balik daging karena kecantikan. Tidak ada perselisihan di antara mereka, tidak ada permusuhan, hati-hati mereka hati yang satu, mereka bertasbih kepada Allah setiap pagi dan petang” (HR. Bukhari).  

Nabi memang suka yang wangi-wangian. Jadi membakar kemenyan/gaharu/qusth/cendana  adalah satu cara ataupun ikhtiar menurut syariat.

Hadist riwayat Ummu `Athiah RA.:Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Tidak halal bagi seorang wanita berkabung atas seorang mayat selama lebih dari tiga hari kecuali karena kematian suami, yaitu selama empat bulan sepuluh hari. Selama itu ia tidak boleh mengenakan pakaian yang dicelup kecuali pakaian yang sangat sederhana. Ia juga tidak boleh memakai celak mata dan juga tidak boleh memakai wewangian, kecuali hanya sedikit dari qusth (sejenis cendana yang digunakan untuk membuat asap yang wangi) atau azhfar (sejenis wewangian). (HR.Muslim)

Para Sahabat Tidak  pernah Menuduh Kafir atau Musrik
Atsar shahabi dari Anas juga menyebutkan bahwa: 
Yazid al-Raqqasyi bertanya pada sahabat Anas: Wahai Abu Hamzah. Sesungguhnya orang-orang bersaksi bahwa kita adalah ‘kufur dan syirik". 

Begitupula sahabat Jabir bin Abdillah: “Dari Abu Sufyan: Saya bertanya kepada Jabir yang sedang akan ke Makkah, ia berada di Bani Fihr; ‘Apakah kamu memanggil dengan sebutan Musyrik kepada seseorang yang (salat) menghadap ke Qiblat?’ Jabir menjawab: Saya berlindung kepada Allah. Dia terkejut. Lalu bertanya lagi: ‘Apakah kamu memanggil dengan sebutan Kafir kepada mereka?’ Jabir menjawab: Tidak!’ (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la al-Mushili, dalam al-Musnad IV/207, dengan sanad yang sahih)

Dua sahabat Rasulullah ini menolak tuduhan Kafir atau Musrik. Sahabat Anas yang dituduh Kafir, justru menolaknya. Sementara Sahabat Jabir juga menolak untuk mengatakan Kafir dan Musyrik kepada umat Islam yang Salat menghadap Ka’bah.

Syirik itu dosa yg paling besar. Yg menuduh juga jika keliru, maka mendapat dosa yg paling besar. Padahal lidahnya ringan sekali untuk mengatakan itu: Wahai saudaraku, jangan alergi dengan kalimat syirik, syirik itu adalah bagi orang yang berkeyakinan ada Tuhan Lain selain Allah SWT, atau ada yang lebih kuat dari Allah, atau meyakini ada tuhan yang sama dengan Allah SWT. 

Kita tak bisa menilai orang yang berbuat apapun dengan tuduhan syirik, hanya karena dia berkomat kamit dengan sajen dan mandi sumur tujuh rupa dan segala macam kebiasaan orang kafir lainnya, ini merupakan adat istiadat biasa, tak mungkin kita mengatakannya musyrik hanya karena melihat perbuatannya, kecuali ia ber ikrar dengan lidahnya & diamini oleh hatinya.

Tuduhan Kembali Pada Pelaku.
Hadiah yang harus diterima bagi orang-orang yang mudah menuduh Musyrik adalah mereka yang berhak menerima predikat Kafir dan Musyrik. 
Nabi Muhamad SAW bersabda:
“Barangsiapa berkata kepada saudaranya ‘Wahai Kafir’, maka sungguh perkataan itu kembali kepada salahsatunya” (HR. Bukhari )

Dalam hadist lain Rasulullah bersabda:
“Tidaklah seseorang menuduh kepada orang lain dengan kefasikan (dosa besar) atau dengan kekufuran, kecuali tuduhan itu kembali kepada penuduh, jika yang dituduh tidak sesuai dengan tuduhannya” (HR.Bukhari ).

Bagaimana bisa tuduhan itu kembali kepada pelaku atau penuduh? Syaikh al-Qasthalani menjawab:
 “Sebab, jika yang menuduh itu benar, maka orang yang dituduh adalah kafir. Namun jika penuduh tersebut dusta (karena yang dituduh tidak kafir), maka penuduh tersebut telah menjadikan iman sebagai kekufuran. Dan barangsiapa yang menjadikan iman sebagai kekufuran, maka ia telah Kafir. Hal ini sebagaimana penafsiran al-Bukhari” (Irsyaad as-Saari ‘ala Syarh al-Bukhaarii 9/65)

Kita tidak boleh  menuduh sembarangan seorang itu telah berbuat syirik atau musyrik tanpa terkecuali. Hati-hatilah dalam bersangka dengan menuduh seorang itu syirik atau musyrik, bila seseorang muslim lalu musyrik, maka pernikahannya batal, istrinya haram digaulinya, jima dengan istri terhitung zina, anaknya tak bernasab padanya, kewaliannya atas putrinya tidak sah, dan bila keluarganya wafat ia tak mewarisi dan bila ia wafat tak pula diwarisi, ia diharamkan shalat, diharamkan dikuburkan di pemakaman muslimin.

No comments: